Minggu, 19 Juni 2011

Naming, Blaming, Claiming

Naming, Blaming, Claiming



Dalam topik tentang hukum sebagai pengendali sosial, pernah disinggung tentang Hoefijzer Model(model tapal kuda) ala Schuyt untuk menyelesaikan suatu konflik. Dalam rangka penyelesaian konflik ini, ada rangkaian langkah-langkah menarik, yang kerap dibicarakan dalam sosiologi hukum. Proses ini adalah naming, blaming, claming. Sumber bacaan untuk ini dapat dilihat dalam tulisan William L. Felstiner, Richard L. Abel, dan Austin Sarat, "The Emergence and Transformation of Dispute" yang dimuat dalam Law and Society Review, vol. 15 no. 3-4 (1980-81).

Langkah pertama adalah 
naming (experience). Pada tahap ini pihak-pihak yang bertikai atau mereka yang diserahi tugas menyelesaikan konflik akan menetapkan peta persoalan, khususnya memastikan bahwa telah terjadi kesalahan / kerugian atas dasar pengalaman masing-masing. Dalam hukum acara pidana, kita mengenal tahap ini sebagai penyelidikan, yang biasanya berada dalam kewenangan Kepolisian. Dalam sosiologi, tahap naming ini bukannya tanpa referensi karena apa yang benar-salah atas perilaku itu didasarkan pada pengalaman (experience). Pengalamanlah yang mengajarkan pada kita tentang nilai-nilai yang benar-salah, baik-buruk, dsb. Latar belakang pengalaman yang berbeda akan berbuah pada hasil naming yang berbeda. Di sini akan diperoleh data/informasi tentang duduk persoalan (posisi kasusnya), siapa-siapa saja yang terlibat sebagai pihak, dan apa deskripsi hak dan kewajiban masing-masing.

Langkah berikutnya adalah 
blaming (reaction). Di sini pihak-pihak itu bereaksi menetapkan siapa yang biasanya (sesuai  pengalaman) seharusnya bertanggung jawab atas kesalahan tadi. Dalam hukum acara pidana, blaming biasanya terjadi dalam tahap penyidikan (penetapan siapa tersangka). Pada tahap ini akan diperoleh data/informasi tentang siapa yang telah melanggar kewajibannya, dan siapa yang dirugikan atas pelanggaran itu, termasuk apa kontribusi masing-masing atas kesalahan dan kerugian tadi.

Tahap ketiga adalah  
claming (understanding and responsibility). Tahap ini adalah tahap untuk menentukan cara dan bentuk pertanggungjawaban yang diminta. Cara inilah yang pernah dibahas dalam topik pengendalian sosial. Teori Schuyt yang disinggung di atas sebenarnya mempersoalkan tentang claming. Dalam praktik, cara meminta pertanggungjawaban dan bentuk pertanggungjawaban yang diminta tidaklah tunggal. Pihak-pihak selalu mencari cara dan bentuk yang paling menguntungkan dirinya masing-masing. Pilihan hukum dan pilihan forum dilakukan dengan cara seperti orang berbelanja, sehingga disebut juga dengan istilah forum shopping.Dalam sosiologi hukum dapat ditunjukkan betapa masyarakat memiliki forum-forum sendiri untuk menyelesaikan konflik di antara mereka. Pengadilan jelas bukan satu-satunya pilihan itu.

Rumus Crime

Crime = Actus Reus + Mens Reo + Absence of a valid defense
Actus Reus à Guilty Act (dilihat dari perbuatannya salah atau tidak)
Mens Reo à Guilty Mind (sudah beralih ke orangnya tercela atau tidak)
Absence of a valid defense à Alasan penghapus pidana, contohnya Daluarsa
Naming : (biasanya dilakukan oleh Polisi)
·         Terjadi Sengketa
v  Bagaimana duduk perkaranya
v  Siapa-siapa yang terlibat
v  Apa hak dan kewajiban hukum masing-masing
v  Siapa yang sudah melaksanakan kewajiban itu dan siapa yang belum
Blaming :
·         Telah ditetapkan duduk perkara
v  Siapa diantara pihak-pihak itu yang dapat diminta pertanggungjawabannya
Claiming : (Biasanya dilakukan oleh Jaksa)
·         Telah ditetapkan duduk perkara dan pihak yang bertanggung jawab
v  Apa prosedur yang harus ditempuh, dan dimana
v  Perlukah melakukan Law/Forum Shopping
v  Perlukah melakukan Shopping Forum
Law Shopping à Choice of Law
Forum Shopping à Choice of Forum
Forum Shopping à Sudah memilih satu forum, tapi masih ada pilihan disitu, contohnya : Sudah memilih mediasi, lalu mau memilih siapa mediatornya, atau sudah memilih arbitrase, tinggal memilih siapa arbiternya.

Agama Sebagai Norma Sosial

Agama sebagai Norma Sosial

Istilah agama berasal dari bahasa Sansekerta "a-gamma" (a=tidak; gamma=kacau). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terma agama ini diartikan: “Sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.”

Ada yang berpendapat bahwa secara doktrinal agama adalah sebuah sistem kebenaran umum yang berdampak mengubah karakter bila kebenaran tersebut dipegang secara tulus dan diyakini secara penuh. Jadi, agama merupakan sebuah sistem nilai yang dapat dijadikan pedoman perilaku manusia. Agama berpotensi sebagai genetivus subjectivus, dalam arti ia dipakai sebagai kaca mata dan tolok ukur untuk secara subjektif menilai segala seuatu, sehingga dapat diketahui apa yang dianggap ada, benar, baik, dan seterusnya. Dari kaca mata dan tolok ukur ini, manusia memahami nilai-nilai yang positif dan negatif.

Di dalam kebanyakan agama, ada figur Tuhan yang diposisikan sebagai sumber semua nilai-nilai yang positif itu. Namun, kerap Tuhan diposisikan sebagai god of the gap. Tuhan sengaja dihadirkan ketika manusia tak lagi mampu memahami misteri dan kompleksitas realitas (Buktinya kita sering berujar, “Hanya Tuhan yang tahu”). Suatu ketika, tatkala misteri  itu terpecahkan, posisi Tuhan lalu digeser kembali.

Dalam sejarah, agama telah berperan penting dalam menuntut perilaku masyarakat manusia. Sebagai sebuah sistem nilai, agama--seperti halnya sistem nilai yang lain--tidak luput dari krisis. Salah satunya adalah krisis epistemologis. Arthur D’Adamo (Science without Bounds, 1995) pernah mengatakan, bahwa krisis epistemologis agama berakar pada cara pandang agama (religion’s way of knowing~RWK) yang memuat claim of truth and claim of salvation. Teks-teks agama selalu diyakini sebagai: (1) konsisten dan bebas dari kesalahan, (2) lengkap dan final, (3) satu-satunya jalan keselamatan, dan (4) ditulis atas wahyu Tuhan Yang Mahakuasa.

Klaim kebenaran dan klaim penyelamatan agama-agama ini, secara sosiologis telah mendatangkan konflik sosial-politik, termasuk perang antar-agama. Konflik ini akhirnya melahirkan prasangka-prasangka epistemologis berupa pembenaran diri sendiri (self fulfilling prophecy) karena mengasumsikan keabsolutan agamanya masing-masing.

Alferd Whitehead dalam bukunya Religion in the Making, menolak pandangan Durkheim bahwa agama adalah FAKTA SOSIAL (agama berkarakter komunitarian). Menurut Whitehead agama justru berkarakter individual, BUKAN sosial. Katanya, “Agama ialah apa yang dilakukan manusia dengan kesendiriannya (solitariness).” Agama pada hakikatnya adalah keheningan soliter, serunya. Latar belakang pemikiran Whitehead adalah sebagai berikut:

Menurut sejarah, agama itu tumbuh secara gradual karena adanya kebutuhan manusia. Masuknya “kebutuhan” itu bertahap mengikuti urutan: RITUAL, EMOTIONAL, BELIEF, RATIONALIZATION.
 1. agama dalam tahap sebagai ritualisme;
 2. tahap menggugah emosi;
 3. tahap keyakinan (kesaksian iman);
 4. tahap rasionalisasi.

Tahap paling awal adalah ritual. Asal usul ritual dapat dilacak dari era prasejarah. Ritual berupa gerakan-gerakan fisik juga dapat dilacak pada binatang. Dalam dunia hewan gerakan-gerakan fisik ini secara psikologis (teori psikologi Funktionslust) juga penting untuk membuang energi berlebih dan mengisi waktu. Gerakan yang terus diulang-ulang akan berguna membangkitkan emosi tertentu.

Emosi merupakan unsur penting dalam beragama. Eemosi adalah unsur ikutan (akibat) dari ritual. Emosi juga berguna mempertajam kepekaan organisme, bahkan keterlibatan emosi kerap dipandang sebagai indikator kedalaman penghayatan (bandingkan saat orang trancedalam upacara agama). Intinya, makin dalam seseorang terlibat secara emosional pada agamanya, maka dipandang makin saleh orang itu di mata penganut agama itu. Oleh sebab itu, pertunjukan emosi yang melibatkan orang banyak biasanya lebih disukai karena menunjukkan keberhasilan agama itu men-saleh-kan komunitasnya (bandingkan dengan trance beramai-ramai). Tahap ritual ditambah emosi ini juga diiringi dengan pemujaan atau pensakralan, bisa ke sosok orang yang disucikan (holy person) atau sosok benda tertentu di luar manusia yang disucikan (holy thing). Orang yang disucikan itu bisa saja berupa nabi/rasul dalam kapasitas sebagai manusia sampai ke kapasitas dituhankan. Di sinilah bedanya agama dengan magis. Model pertama yang mengusung holy person adalah agama, sedangkan yang kedua (holy thing) adalah magis.

Tahap kedua adalah emosi. Pada tahap ini agama sudah sampai pada tahap menggugah emosi. Untuk mempercepat proses ini, digunakanlah sistem tanda. Charles Sanders Pierce membedakan sistem tanda ini menjadi: IKON (antara tanda dan yang ditandai memiliki kemiripan, misalnya patung sang nabi; INDEKS (antara tanda dan yang ditandai memiliki kedekatan eksistensi; di sini misalnya kisah-kisah bersejarah yang tertulis dalam kitab suci), atau SIMBOL (antara tanda dan yang ditandai berhubungan secara abstrak, seperti lambang bintang Daud dalam agama Yahudi, bulan sabit dan bintang dalam Islam, salib dalam Kristen).

Tahap ketiga adalah kesaksian iman. Kesaksian iman merupakan petanda bahwa agama masih bersifat sosial. Agama menjadi agen formatif baru bagi kebangkitan manusia (the ascent of man). Untuk itu, diciptakan kultus-kultus yang diyakini oleh kelompok masyarakat yang bersangkutan sebagai bukti kebenaran. Muncullah dewa-dewa baru, imam-imam kudus, santo, tempat suci, dll. yang diyakini telah memberi konfirmasi atas bukti keimanan itu. Melalui kesaksian (seringkali dari mulut ke mulut) para penganut agama saling menebar keyakinan bahwa figur-figur itu merupakan bukti kebenaran keimanan mereka.
Whitehead mengingatkan, pada tahap ini agama bisa mandeg (jika tidak didorong ke tahap berikutnya). Kemandegan yang diperingatkan oleh Whitehead memang beralasan karena potensi konflik justru muncul di sini, yakni tatkala kesaksian iman ini berbuntut saling melecehkan penganut agama lain di luar dirinya (ini terlihat misalnya pada fenomena saling mengkafirkan).

Tahap yang ideal, menurut Whitehead, adalah tahap keempat, yakni rasionalisasi. Pada tahap inilah agama menjadi berdimensi individual. Agama mendapat rasionalisasi secara individual. “Orang yang tak pernah sendiri, tak pernah religius,” ujarnya. Tentu saja, tidak semua orang dapat menjangkau tahap ini. Pada tahap ini agama bersentuhan dengan intuisi religius sedikit orang (insight individual). Agama rasional baru dapat muncul jika konsep-konsep umum dan intuisi-intuisi etis yang relevan, sudah berkembang dalam kesadaran manusia. Pada tahap ini, hasil insight individual itu telah menerobos sekat-sekat sosialnya, sehingga orang punya kecenderungan untuk toleran.

Bebeerapa agama sebenarnya sudah membicarakan tentang tahap rasionalisasi  ini. Dalam Islam, misalnya, dikenal ada yang disebut makrifah (ma’rifat), yang secara harifiah berarti mengetahui/pengetahuan. Cendekiawan Islam membedakan makrifah ini dalam beberapa tingkatan. Ada tingkatan makrifah kaum awam, yang "rasionalitasnya" dibangun dengan cara cukup bersikap patuh-membenarkan (tasdῗq) keterangan Rasul. Tingkat berikutnya adalah makrifah teolog dan filsuf, yang rasionalitasnya didasarkan penelaahan rasio plus pembuktian empirik. Berikutnya makrifah hakikat, yakni pemahaman hakikat dengan ketajaman indera, akal, dan mata hati (lihat Ensiklopedia Islam Indonesia, 1992). Whitehead tentu tidak ingin memasukkan makrifah kaum awam ini ke dalam tahap ideal yang ia maksudkan.

Terkait tentang kecenderungan manusia beragama dewasa ini, Komaruddin Hidayat dan M. Wahyu Nafis (2003), menyebutkan ada empat kemungkinan.

Kecenderungan pertama disebut deism (faith without religion). Kecenderungan ini nyambung dengan ramalan John Naisbitt dan Patricia Aburdene, yang dikenal juga dengan slogan: “Spirituality, yes. Organized religion, no.” Menurut keduanya, formalitas agama terbukti telah mempersempit pesan-pesan universalitas mereka. Agama-agama yang terorganisasi (Yahudi, Nasrani, Islam, dst.) diramalkan tak memiliki masa depan; yang bertahan adalah pesan-pesan universalnya. Tidak heran kalau pada masa ini ada orang-orang yang menyebut dirinya sebagai spirituality freelancer.

Kencenderungan kedua adalah munculnya gerakan falsafah kalam (theo-philosophical movement). Kecenderngan ini bertolak dari temuan-temuan ilmiah (khususnya ilmu eksakta). Agama merespons temuan-temuan ini dan menyesuaikan kajian-kajiannya dengan merangkul ilmu pengetahuan. Di sini agama tetap dijadikan sebagai orientasi perkembangan ilmu pengetahuan.

Kecenderungan ketiga adalah apa yang disebut dengan istilah skriptualis-ideologis. Di sini agama dimaknai sebagai kembali kepada teks-teks kitab suci (atau disucikan). Kecenderungan ini kerap memposisikan diri sebagai pemurnian agama. Memang, manusia dalam tingkat kognisi tertentu dalam beragama, kerap berada dan/atau harus melalui tahapan ini. Namun, jika dibiarkan terus-menerus, kecenderungan ini akan membuat agama dieksklusifkan dengan menyatakan kebenaran hanya pada kelompoknya sendiri, bahkan cenderung memusuhi agama lain. Di Indonesia pandangan demikian cenderung disalahtafsirkan sebagai gerakan “kebangkitan kembali agama”.

Kecenderungan keempat adalah kebangkitan etno-religius. Kecenderungan ini dipicu oleh perlawanan secara emosional atas hegemoni Barat, baik hegemoni politik, ekonomi, maupun sosial-budaya. Apa yang dikenal dewasa ini sebagai gerakan radikalisme Kristen atau Islam, adalah bukti kecenderungan tadi. Demikian juga dengan gerakan nasionalisme Hindu di India. Kecenderungan inipun bisa dipicu oleh keterkepungan secara geopolitik, seperti ekstremisme perjuangan rakyat Palestina dan gerakan zionisme Israel.

Lalu, persoalannya sekarang adalah apakah dengan segala kompleksitas keberagamaan seperti diuraikan di atas, agama masih mungkin untuk diposisikan sebagai norma sosial? Pilihan-pilihan itu antara lain: (1) menjadikan agama sebagai hukum negara; (2) menjadikan agama sebagai salah satu sumber material dari hukum negara; (3) memisahkan agama dengan negara. Secara resmi, pilihan kita di Indonesia tidak berada pada opsi nomor satu dan tiga, sekalipun ada kecenderungan di sejumlah daerah diberlakukan perda-perda yang berkonotasi syariah.

Di Perancis dikenal pilihan nomor tiga, yang lazim disebut sebagai konsep laïcité (baca: la-isi’te). Konsep ini dicantumkan dalam Pasal 1 Konstitusi Perancis, yang menegaskan bahwa pada prinsipnya Perancis adalah republik yang sekuler dan Pemerintah tidak mencampuri urusan agama. Sejak abad ke-20, Pemerintah Perancis menerapkan perlakuan yang sama bagi semua agama (tak ada mayoritas-minoritas). Tahun 2004, melalui UU (Loi #2004-228), Perancis mempertegas prinsip laïcité ini dengan melarang penggunaan simbol agama di sekolah-sekolah negeri (primary and secondary schools).

Di Amerika Serikat dikenal konsep berbeda, yang biasanya disebut civil religion. Konsep “American Civil Religion” kerap dikaitkan dengan sosiolog Robert Bellah (1967) dalam artikelnya Civil Religion in America. Amerika menganut “a common civil religion” dengan membolehkan kepercayaan, nilai-nilai, hari raya,dan  ritual tertentu, yang sejalan dengan kebebasan rakyatnya untuk memilih agama. Tidak ada agama yang dibiarkan menjadi agama negara. Diskursus dalam politik dan kenegaraan senantiasa dijauhkan dari terminologi agama. Namun, penelitian menunjukkan bahwa orientasi agama sering juga dipakai dalam rangka mendulang suara dalam pemilu.

Patut dicatat bahwa sebelum Bellah menyebut common civil religion, istilah serupa sebenarnya pernah disampaikan, seperti common faith(John Dewey), common religion (Robin Williams), religion in general (Martin Marty), religion of the Republic (Sidney Mead).

Pluralisme Hukum

Pluralisme Hukum

Pluralisme hukum (legal pluralism) kerap diartikan sebagai keragaman hukum. Pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu aturan hukum dalam sebuah lingkungan sosial. Gagasan pluralisme hukum sebagai sebuah konsep, mulai marak pada dekade 1970an, bersamaaan dengan berseminya ilmu antropologi.
Sentralisme hukum memaknai hukum sebagai hukum negara yang berlaku seragam untuk semua orang yang berada di wilayah yurisdiksi Negara tersebut. Dengan demikian, hanya ada satu hukum yang diberlakukan dalam suatu negara, yaitu hukum negara. Hukum hanya dapat dibentuk oleh lembaga negara yang ditugaskan secara khusus untuk itu. Meskipun ada kaidah-kaidah hukum lain, sentralisme hukum menempatkan hukum negara berada di atas kaidah hukum lainnya, seperti hukum adat, hukum agama, maupun kebiasan-kebiasaan. Kaidah-kaidah hukum lain tersebut dianggap memiliki daya ikat yang lebih lemah dan harus tunduk pada hukum negara. Walaupun hal tersebut kalau diterapkan di Indonesia akan menuai banyak kritikan lantaran di Indonesia masyarakat lebih tunduk kepada hukum Agama dari pada hukum Negara. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan bagi pemerintah, dengan menjadikan hukum Agama sebagai ruh dalam hukum positif.

Dalam perjalanannya, pluralisme hukum ini tidak terlepas dari sejumlah kritik, di antaranya: 

1. Pluralisme hukum dinilai tidak memberikan tekanan pada batasan istilah hukum yang digunakan;

2. Pluralisme hukum dianggap kurang mempertimbangkan faktor struktur sosio-ekonomi makro yang mempengaruhi terjadinya sentralisme hukum dan pluralisme hukum. Selain itu, kelemahan penting lainnya dari pluralisme hukum adalah pengabaiannya terhadap aspek keadilan. Lagi pula, pluralisme hukum belum bisa menawarkan sebuah konsep jitu sebagai antitesis hukum negara. Pluralisme hukum hanya dapat dipakai untuk memahami realitas hukum di dalam masyarakat.

3. Pluralisme hukum tidak dapat menyelesaikan permasalahan masyarakat dengan baik dan tuntas sampai ke puncak permasalahan.

Teori Sistem Hukum Nonet & Selznick

Teori Sistem Hukum menurut Nonet dan Selznick
Selama ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku dan terlalu menekankan pada aspek the legal system tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan yang harus ditangani, seperti dalam hal ini masalah-masalah sosial. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang menekankan aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya teori hukum hendaknya tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak kebal terhadap pengaruh sosial.
Memahami kenyataan itu, mereka kemudian mencoba memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam ilmu hukum dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan penindasan. Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual.
Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu: hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).
Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental model).
Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya tahapan II (hukum responsif) yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih besar.
Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel.
Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Seznick, menurut Prof. Satjipto Rahardjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical jurisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom pada Nonet. Baik aliran analitis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat digugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan.
Hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis
Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinnya produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.

Empat Teori Penting dalam Sosiologi

Empat Teori Penting dalam Sosiologi

Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.
Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisa substantif Spencer dan penggerak analisa fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.
Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat adalah
§  Visi substantif mengenai tindakan sosial dan
§  Strateginya dalam menganalisa struktur sosial.
Pemikiran Weber mengenai tindakan sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam menjelaskan mengenai tindakan aktor dalam menginterpretasikan keadaan.

Teori Konflik

Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflikyang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.
Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.
Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya.Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar.Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturandalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada teori konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.

Teori Interaksionisme Simbolik

Para ahli perspektif interaksionisme simbolik melihat bahwa individu adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang disepakati bersama.
Interaksi simbolik, menurut Herbert Blumer, merujuk pada … “karakter interaksi khusus yang berlangsung antar manusia.” Aktor tidak semata-mata bereaksi terhadap tindakan yang lain tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respon aktor baik secara langsung maupun tidak langsung, selalu didasarkan atas makna penilaian tersebut. Oleh karenanya, interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran atau dengan menemukan makna tindakan orang lain. Dalam konteks itu, menurut Blumer, aktor akan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokan, dan mentransformasikan makna dalam kaitannya dengan situasi di mana dan ke arah mana tindakannya.
Teori interaksionisme simbolik sangat menekankan arti pentingnya “proses mental” atau proses berpikir bagi manusia sebelum mereka bertindak. Tindakan manusia itu sama sekali bukan stimulus – respon, melainkan stimulus – proses berpikir – respons. Jadi, terdapat variabel antara atau variabel yang menjembatani antara stimulus dengan respon, yaitu proses mental atau proses berpikir, yang tidak lain adalah interpretasi. Teori interaksionisme simbolik memandang bahwa arti/makna muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda tumbuh dari cara-cara dimana orang lain bersikap terhadap orang tersebut.

Teori pertukaran sosial adalah teori dalam ilmu sosial yang menyatakan bahwa dalam hubungan sosial terdapat unsur ganjaran, pengorbanan, dan keuntungan yang saling memengaruhi.[rujukan?] Teori ini menjelaskan bagaimana manusia memandang tentang hubungan kita dengan orang lain sesuai dengan anggapan diri manusia tersebut terhadap:
§  Keseimbangan antara apa yang di berikan ke dalam hubungan dan apa yang dikeluarkan dari hubungan itu.
§  Jenis hubungan yang dilakukan.
§  Kesempatan memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang lain.

Proses Sosial


Proses Sosial

Proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dilihat apabila orang-perorangan dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta bentu-bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya pola-pola kehidupan yang terlah ada. Proses sosial dapat diartikan sebagai pengaruh timbale-balik antara pelbagai segi kehidupan bersama, misalnya pengaruh-mempengaruhi antara sosial dengan politik, politik dengan ekonomi, ekonomi dengan hukum, dst.

Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa interkasi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama.

Interaksi Sosial sebagai Faktor Utama dalam Kehidupan Sosial

Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial(yang juga dapat dinamakan sebagai proses sosial) karena interasi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi anatara kelompo tersebut sebagai suatu kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-anggotanya

Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi pula di dalam masyarakat. Interaksi tersebut lebih mencolok ketika terjadi benturan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan kelompok. Interaksi sosial hanya berlangsung antara pihak-pihak apabila terjadi reaksi terhadap dua belah pihak. Interaksi sosial tak akan mungkin teradi apabila manusia mengadakan hubungan yang langsung dengan sesuatu yang sama sekali tidak berpengaruh terhadap sistem syarafnya, sebagai akibat hubungan termaksud.

Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada pelbagai faktor :
Imitasi
Salah satu segi positifnya adalah bahwa imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku
Sugesti
Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau suatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain.
Identifikasi
Identifikasi sebenarnya merupakan kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada imitasi, karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini.
Proses simpati
Sebenarnya merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya.

Syarat-syarat Terjadinya Interaksi Sosial

Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok.

Dua Syarat terjadinya interaksi sosial :

Adanya kontak sosial (social contact), yang dapat berlangsung dalam tiga bentuk.Yaitu antarindividu, antarindividu dengan kelompok, antarelompok. Selain itu, suatu kontak dapat pula bersifat langsung maupun tidak langsung.
Adanya Komunikasi, yaitu seseorang memberi arti pada perilaku orang lain, perasaan-perassaan apa yang ingin disampaikan orang tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberi reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang tersebut.

Kata kontak berasal dari bahasa Latin con atau cum (artinya bersama-sama) dan tango (yang artinya menyentuh). Arti secara hanafiah adalah bersama-sama menyentuh. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadinya hubungan badaniah. Sebagai gejala seosial itu tidak perlu berarti suatu hubungan badaniah, karena dewasa ini dengan adanya perkembangan teknologi, orang dapat menyentuh berbagai pihak tanpa menyentuhnya. Dapat dikatakan bahwa hubungan badaniah bukanlah syarat untuk terjadinya suatu kontak.

Kontak sosial dapat terjadi dalam 3 bentuk :

Adanya orang perorangan
Kontak sosial ini adalah apabila anak kecil mempelajari kebuasaan dalam keluarganya. Proses demikian terjadi melalui sosialisasi, yaitu suatu proses dimana anggota masyarakat yang baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat dimana dia menjadi anggota.
ada orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya kontak sosial ini misalnya adalah seseorang merasakan bahwa tindakan-tindakannya berlawanan dengan norma-norma masyarakat atau apabila suatu partai politik memkasa anggota-anggotanya menyesuaikan diri dengan ideologi dan programnya.

Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya.
Umpamanya adalah dua partai politik mengadakan kerja sama untuk mengalahkan parpol yang ketiga di pemilihan umum. Terjadinya suatu kontak tidaklah semata-mata tergantung dari tindakan, tetapi juga tanggapan terhadap tindakan tersebut. Kontak sosial yang bersifat positif mengarah pada suatu kerja sama, sengangkan yang bersifat negatif mengarah pada suatu pertentangan atau bahkan sama seali tidak menghasilkan suatu interaksi sosial.

Suatu kontak dapat bersifat primer atau sekunder. Kontak perimer terjadi apabila yang mengadakan hubungan langsung bertemu dan berhadapan muka. Kontak sekunder memerlukan suatu perantara. Sekunder dapat dilakukan secara langsung. Hubungan-hubungan yang sekunder tersebut dapat dilakukan melalui alat-alat telepon, telegraf, radio, dst.
Arti terpenting komunikasi adalah bahwa seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, gera-gerak badaniah atau sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberikan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain tersebut.
Dengan adanya komunikasi tersebut, sikap-sikap dan perasaan suatu kelompok manusia atau perseorangan dapat diketahui oleh kelompok lain atau orang lainnya. Hal itu kemudian merupakan bahan untuk menentukan reaksi apa yang dilakukannya.

Kehidupan yang Terasing
Pentingnya kontak dan komunikasi bagi terwujudnya interaksi sosial dapat diuji terhadap suatu kehidupan yang terasing (isolation). Kehiduapan terasing yang sempurna ditandai dengan ketidakmampuan untuk mengadakan interaksi sosial dengan pihak-pihak lain. Kehidupan terasing dapat disebaban karena secara badaniah seseorang sama sekali diasingkan dari hubungan dengan orang-orang lainnua. Padahal perkembangan jiwa seseorag banyak ditentuan oleh pergaulannya dengan orang lain.

Terasingnya seseorang dapat pula disebabkan oleh karena cacat pada salat satu indrany. Dari beberapa hasil penelitian, ternyata bahwa kepribadian orang-orang mengalami banyak penderitaan akibat kehidupan yang terasing karena cacat indra itu. Orang-orang cacat tersebut akan mengalami perasaan rendah diri, karena kemungkinan-kemungkinan untuk mengembangkan kepribadiannya seolah-olah terhalang dan bahkan sering kali tertutup sama sekali.

Pada masyarakat berkasta, dimana gerak sosial vertikal hampir tak terjadi, terasingnya seseorang dari kasta tertentu (biasanya warga kasta rendahan), apabila berada di kalangan kasta lainnya (kasta yang tertinggi), dapat pula terjadi.

Bentuk-bentu Interaksi Sosial

Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). Pertikaian mungkin akan mendapatkan suatu penyelesaian, namun penyelesaian tersebut hanya akan dapat diterima untuk sementara waktu, yang dinamakan akomodasi. Ini berarti kedua belah pihak belum tentu puas sepenunya. Suatu keadaan dapat dianggap sebagai bentuk keempat dari interaksi sosial. Keempat bentuk poko dari interaksi sosial tersebut tidak perlu merupakan suatu kontinuitas, di dalam arti bahwa interaksi itu dimulai dengan kerja sama yang kemudian menjadi persaingan serta memuncak menjadi pertikaian untuk akhirnya sampai pada akomodasi.

Gillin dan Gillin mengadakan penggolongan yang lebih luas lagi. Menurut mereka, ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial :

Proses-proses yang Asosiatif 

Kerja Sama (Cooperation)

Suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila orang dapat digerakan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi semua. Juga harus ada iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja serta balas jasa yang akan diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, keahlian-keahlian tertentu diperlukan bagi mereka yang bekerja sama supaya rencana kerja samanya dapat terlaksana dengan baik.

Kerja sama timbul karena orientasi orang-perorangan terhadap kelompoknya (yaitu in-group-nya) dan kelompok lainya (yang merupakan out-group-nya). Kerja sama akan bertambah kuat jika ada hal-hal yang menyinggung anggota/perorangan lainnya.

Fungsi Kerjasama digambarkan oleh Charles H.Cooley ”kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta penting dalam kerjasama yang berguna”

Dalam teori-teori sosiologi dapat dijumpai beberapa bentuk kerjasama yang biasa diberi nama kerja sama (cooperation). Kerjasama tersebut lebih lanjut dibedakan lagi dengan :
Kerjasama Spontan (Spontaneous Cooperation) : Kerjasama yang sertamerta
Kerjasama Langsung (Directed Cooperation) : Kerjasama yang merupakan hasil perintah atasan atau penguasa
Kerjasama Kontrak (Contractual Cooperation) : Kerjasama atas dasar tertentu
Kerjasama Tradisional (Traditional Cooperation) : Kerjasama sebagai bagian atau unsur dari sistem sosial.

Ada 5 bentuk kerjasama :
Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong menolong
Bargaining, Yaitu pelaksana perjanjian mengenai pertukaran barang-barang dan jasa-jasa antara 2 organisasi atau lebih
Kooptasi (cooptation), yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan
Koalisi (coalition), yakni kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Koalisi dapat menghasilkan keadaan yang tidak stabil untuk sementara waktu karena dua organisasi atau lebih tersebut kemungkinan mempunyai struktut yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi, karenamaksud utama adalah untuk mencapat satu atau beberapa tujuan bersama, maka sifatnnya adalah kooperatif.
Joint venture, yaitu erjasama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu, misalnya pengeboran minyak, pertambangan batubara, perfilman, perhotelan, dst.

Akomodasi (Accomodation)

Pengertian
Istilah Akomodasi dipergunakan dalam dua arti : menujukk pada suatu keadaan dan yntuk menujuk pada suatu proses. Akomodasi menunjuk pada keadaan, adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai suatu proses akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha manusia untuk mencapai kestabilan.

Menurut Gillin dan Gillin, akomodasi adalah suatu perngertian yang digunakan oleh para sosiolog untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang sama artinya dengan adaptasi dalam biologi. Maksudnya, sebagai suatu proses dimana orang atau kelompok manusia yang mulanya saling bertentangan, mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan. Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.

Tujuan Akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi yang dihadapinya, yaitu :
Untuk mengurangi pertentangan antara orang atau kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham
Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu atau secara temporer
Memungkinkan terjadinya kerjasama antara kelompok sosial yang hidupnya terpisah akibat faktor-faktor sosial psikologis dan kebudayaan, seperti yang dijumpai pada masyarakat yang mengenal sistem berkasta.
mengusahakan peleburan antara kelompok sosial yang terpisah.

Bentuk-bentuk Akomodasi
Corecion, suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan karena adanya paksaan
Compromise, bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada.
Arbitration, Suatu cara untuk mencapai compromise apabila pihak-pihak yang berhadapan tidak sanggup mencapainya sendiri
Conciliation, suatu usaha untuk mempertemukan keinginan-keinginan dari pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama.
Toleration, merupakan bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal bentuknya.
Stalemate, suatu akomodasi dimana pihak-pihak yang bertentangan karena mempunyai kekuatan yang seimbang berhenti pada satu titik tertentu dalam melakukan pertentangannya.
Adjudication, Penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan

Hasil-hasil Akomodasi

Akomodasi dan Intergrasi Masyarakat
Akomodasi dan intergrasi masyarakat telah berbuat banyak untuk menghindarkan masyarakat dari benih-benih pertentangan laten yang akan melahirkan pertentangan baru.

Menekankan Oposisi
Sering kali suatu persaingan dilaksanakan demi keuntungan suatu kelompok tertentu dan kerugian bagi pihak lain.

Koordinasi berbagai kepribadian yang berbeda
Perubahan lembaga kemasyarakatan agar sesuai dengan keadaan baru atau keadaan yang berubah. Perubahan-perubahan dalam kedudukan akomodasi membuka jalan ke arah asimilasi

Dengan adanya proses asimilasi, para pihak lebih saling mengenal dan dengan timbulnya benih-benih toleransi mereka lebih mudah untuk saling mendekati.

Asimilasi (Assimilation)

Asimilasi merupakan proses sosial dalam taraf lanjut. Ia ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan proses-proses mental dengan memerhatikan kepentingan dan tujuan bersama.

Proses Asimilasi timbul bila ada :
Kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya
orang-perorangan sebagai warga kelompok tadi saling bergaul secara langsung dan intensif untuk waktu yang lama sehingga
kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri

Beberapa bentuk interaksi sosial yang memberi arah ke suatu proses asimilasi (interaksi yang asimilatif) bila memilii syarat-syarat berikut ini
Interaksi sosial tersebut bersifat suatu pendekatan terhadap pihak lain, dimana pihak yang lain tadi juga berlaku sama
interaksi sosial tersebut tidak mengalami halangan-halangan atau pembatasan-pembatasan
Interaksi sosial tersebut bersifat langsung dan primer
Frekuaensi interaksi sosial tinggi dan tetap, serta ada keseimbangan antara pola-pola tersebut. Artinya, stimulan dan tanggapan-tanggapan dari pihak-pihak yang mengadakan asimilasi harus sering dilakukan dan suatu keseimbangan tertentu harus dicapai dan dikembangankan.

Faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu asimilasi adalah :
Toleransi
kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi
sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya
sikap tebuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat
persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan
perkawinan campuran (amaigamation)
adanya musuh bersama dari luar

Faktor umum penghalangan terjadinya asimilasi
Terisolasinya kehidupan suatu golongan tertentu dalam masyarakat
kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi dan sehubungan dengan itu seringkali menimbulkan faktor ketiga
perasaan takut terhadap kekuatan suatu kebudayaan yang dihadapi
perasaan bahwa suatu kebudayaan golongan atau kelompok tertentu lebih tinggi daripada kebudayaan golongan atau kelompok lainnya.
Dalam batas-batas tertentu, perbedaan warna kulit atau perbedaan ciri-ciri badaniah dapat pula menjadi salah satu penghalang terjadinya asimilasi
In-Group-Feeling yang kuat menjadi penghalang berlangsungnya asimilasi. In Group Feeling berarti adanya suatu perasaan yang kuat sekali bahwa individu terikat pada kelompok dan kebudayaan kelompok yang bersangkutan.
Gangguan dari golongan yang berkuasa terhadap minoritas lain apabila golongan minoritas lain mengalami gangguan-gangguan dari golongan yang berkuasa
faktor perbedaan kepentingan yang kemudian ditambah dengan pertentangan-pertentangan pribadi.

Asimilasi menyebabkan perubahan-perubahan dalam hubungan sosial dan dalam pola adat istiadat serta interaksi sosial. Proses yang disebut terakhir biasa dinamakan akulturasi. Perubahan-perubahan dalam pola adat istiadat dan interaksi sosial kadangkala tidak terlalu penting dan menonjol.

Proses Disosiatif

Proses disosiatif sering disebut sebagai oppositional proccesses, yang persis halnya dengan kerjasama, dapat ditemukan pada setiap masyarakat, walaupun bentuk dan arahnya ditentukan oleh kebudayaan dan sistem sosial masyarakat bersangkutan. Oposisi dapat diartikan sebagai cara berjuang melawan seseorang atau sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Pola-pola oposisi tersebut dinamakan juga sebagai perjuangan untuk tetap hidup (struggle for existence). Untuk kepentingan analisis ilmu pengetahan, oposisi proses-proses yang disosiatif dibedkan dalam tiga bentuk, yaitu :


Persaingan (Competition)

Persaingan atau competition dapat diartikan sebagai suatu proses sosial dimana individu atau kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan. Persaingan mempunya dua tipe umum :
Bersifat Pribadi : Individu, perorangan, bersaing dalam memperoleh kedudukan. Tipe ini dinamakan rivalry.
Bersifat Tidak Pribadi : Misalnya terjadi antara dua perusahaan besar yang bersaing untuk mendapatkan monopoli di suatu wilayah tertentu.


Bentuk-bentuk persaingan :
Persaingan ekonomi : timbul karena terbatasnya persediaan dibandingkan dengan jumlah konsumen
Persaingan kebudayaan : dapat menyangkut persaingan bidang keagamaan, pendidikan, dst.
Persaingan kedudukan dan peranan : di dalam diri seseorang maupun di dalam kelompok terdapat keinginan untuk diakui sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kedudukan serta peranan terpandang.
Persaingan ras : merupakan persaingan di bidang kebudayaan. Hal ini disebabkan krn ciri-ciri badaniyah terlihat dibanding unsur-unsur kebudayaan lainnya.

Persaingan dalam batas-batas tertentu dapat mempunyai beberapa fungsi :
Menyalrkan keinginan individu atau kelompok yang bersifat kompetitif
Sebagai jalan dimana keinginan, kepentingan serta nilai-nilai yang pada suatu masa medapat pusat perhatian, tersalurkan dengan baik oleh mereka yang bersaing.
Sebagai alat untuk mengadakan seleksi atas dasar seks dan sosial. Persaingan berfungsi untuk mendudukan individu pada kedudukan serta peranan yang sesuai dengan kemampuannya.
Sebagai alat menyaring para warga golongan karya (”fungsional”)

Hasil suatu persaingan terkait erat dengan pelbagai faktor berikut ini ”
Kerpibadian seseorang 
Kemajuan : Persaingan akan mendorong seseorang untuk bekerja keras dan memberikan sahamnya untuk pembangunan masyarakat.
Solidaritas kelompok : Persaingan yang jujur akan menyebabkan para individu akan saling menyesuaikan diri dalam hubungan-hubungan sosialnya hingga tercapai keserasian.
Disorganisasi : Perubahan yang terjadi terlalu cepat dalam masyarakat akan mengakibatkan disorganisasi pada struktur sosial.

Kontraversi (Contravetion)

Kontravensi pada hakikatnya merupakan suatu bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian. Bentuk kontraversi menurut Leo von Wiese dan Howard Becker ada 5 :
yang umum meliputi perbuatan seperti penolakan, keenganan, perlawanan, perbuatan menghalang-halangi, protes, gangguang-gangguan, kekerasan, pengacauan rencana
yang sederhana seperti menyangkal pernyataan orang lain di muka umum, memaki-maki melalui surat selebaran, mencerca, memfitnah, melemparkan beban pembuktian pada pihak lain, dst. Yang intensif, penghasutan, menyebarkan desas desus yang mengecewakan pihak lain yang rahasia, mengumumkan rahasian orang, berkhianat yang taktis, mengejutkan lawan, mengganggu dan membingungkan pihak lain. Contoh lain adalah memaksa pihak lain menyesuaikan diri dengan kekerasan, provokasi, intimidasi, dst.

Menurut Leo von Wiese dan Howard Becker ada 3 tipe umum kontravensi :
Kontraversi generasi masyarakat : lazim terjadi terutama pada zaman yang sudah mengalami perubahan yang sangat cepat
Kontraversi seks : menyangkut hubungan suami dengan istri dalam keluarga.
Kontraversi Parlementer : hubungan antara golongan mayoritas dengan golongan minoritas dalam masyarakat.baik yang menyangkut hubungan mereka di dalam lembaga legislatif, keagamaan, pendidikan, dst.

Tipe Kontravensi :
Kontravensi antarmasyarakat setempat, mempunyai dua bentuk : 
Kontavensi antarmasyarakat setempat yang berlainan (intracommunity struggle)
Kontravensi antar golongan-golongan dalam satu masyarakat setempat (intercommunity struggle)
Antagonisme keagamaan
Kontravensi Intelektual : sikap meninggikan diri dari mereka yang mempunyai latar belakang pendidikan yang tinggi atau sebaliknya
Oposisi moral : erat hubungannya dengan kebudayaan.

Pertentangan (Pertikaian atau conflict)
Pribadi maupun kelompok menydari adanya perbedaan-perbedaan misalnya dalam ciri-ciri badaniyah, emosi, unsur-unsur kebudayaan, pola-pola perilaku, dan seterusnya dengan pihak lain. Ciri tersebut dapat mempertajam perbedaan yang ada hingga menjadi suatu pertentangan atau pertikaian.

Sebab musabab pertentangan adalah :
           
Perbedaan antara individu
Perbedaan kebudayaan
perbedaan kepentingan
perubahan sosial.

Pertentangan dapat pula menjadi sarana untuk mencapai keseimbangan antara kekuatan-kekuatan dalam masyarakat. Timbulnya pertentangan merupakan pertanda bahwa akomodasi yang sebelumnya telah tercapai.

Pertentangan mempunyai beberapa bentuk khusus:
Pertentangan pribadi
Pertentangan Rasial : dalam hal ini para pihak akan menyadari betapa adanya perbedaan antara mereka yang menimbulkan pertentangan
Pertentangan antara kelas-kelas sosial : disebabkan karena adanya perbedaan kepentingan
Pertentangan politik : menyangkut baik antara golongan-golongan dalam satu masyarakat, maupun antara negara-negara yang berdaulat
Pertentangan yang bersifat internasional : disebabkan perbedaan-perbedaan kepentingan yang kemudian merembes ke kedaulatan negara

Akibat-akibat bentuk pertentangan
Tambahnya solidaritas in-group
Apabila pertentangan antara golongan-golongan terjadi dalam satu kelompok tertentu, akibatnya adalah sebaliknya, yaitu goyah dan retaknya persatuan kelompok tersebut.
Perubahan kepribadian para individu
Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia
Akomodasi, dominasi, dan takluknya salah satu pihak

Baik persaingan maupun pertentangan merupakan bentuk-bentuk proses sosial disosiatif yang terdapat pada setiap masyarakat.