Minggu, 19 Juni 2011

Agama Sebagai Norma Sosial

Agama sebagai Norma Sosial

Istilah agama berasal dari bahasa Sansekerta "a-gamma" (a=tidak; gamma=kacau). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terma agama ini diartikan: “Sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.”

Ada yang berpendapat bahwa secara doktrinal agama adalah sebuah sistem kebenaran umum yang berdampak mengubah karakter bila kebenaran tersebut dipegang secara tulus dan diyakini secara penuh. Jadi, agama merupakan sebuah sistem nilai yang dapat dijadikan pedoman perilaku manusia. Agama berpotensi sebagai genetivus subjectivus, dalam arti ia dipakai sebagai kaca mata dan tolok ukur untuk secara subjektif menilai segala seuatu, sehingga dapat diketahui apa yang dianggap ada, benar, baik, dan seterusnya. Dari kaca mata dan tolok ukur ini, manusia memahami nilai-nilai yang positif dan negatif.

Di dalam kebanyakan agama, ada figur Tuhan yang diposisikan sebagai sumber semua nilai-nilai yang positif itu. Namun, kerap Tuhan diposisikan sebagai god of the gap. Tuhan sengaja dihadirkan ketika manusia tak lagi mampu memahami misteri dan kompleksitas realitas (Buktinya kita sering berujar, “Hanya Tuhan yang tahu”). Suatu ketika, tatkala misteri  itu terpecahkan, posisi Tuhan lalu digeser kembali.

Dalam sejarah, agama telah berperan penting dalam menuntut perilaku masyarakat manusia. Sebagai sebuah sistem nilai, agama--seperti halnya sistem nilai yang lain--tidak luput dari krisis. Salah satunya adalah krisis epistemologis. Arthur D’Adamo (Science without Bounds, 1995) pernah mengatakan, bahwa krisis epistemologis agama berakar pada cara pandang agama (religion’s way of knowing~RWK) yang memuat claim of truth and claim of salvation. Teks-teks agama selalu diyakini sebagai: (1) konsisten dan bebas dari kesalahan, (2) lengkap dan final, (3) satu-satunya jalan keselamatan, dan (4) ditulis atas wahyu Tuhan Yang Mahakuasa.

Klaim kebenaran dan klaim penyelamatan agama-agama ini, secara sosiologis telah mendatangkan konflik sosial-politik, termasuk perang antar-agama. Konflik ini akhirnya melahirkan prasangka-prasangka epistemologis berupa pembenaran diri sendiri (self fulfilling prophecy) karena mengasumsikan keabsolutan agamanya masing-masing.

Alferd Whitehead dalam bukunya Religion in the Making, menolak pandangan Durkheim bahwa agama adalah FAKTA SOSIAL (agama berkarakter komunitarian). Menurut Whitehead agama justru berkarakter individual, BUKAN sosial. Katanya, “Agama ialah apa yang dilakukan manusia dengan kesendiriannya (solitariness).” Agama pada hakikatnya adalah keheningan soliter, serunya. Latar belakang pemikiran Whitehead adalah sebagai berikut:

Menurut sejarah, agama itu tumbuh secara gradual karena adanya kebutuhan manusia. Masuknya “kebutuhan” itu bertahap mengikuti urutan: RITUAL, EMOTIONAL, BELIEF, RATIONALIZATION.
 1. agama dalam tahap sebagai ritualisme;
 2. tahap menggugah emosi;
 3. tahap keyakinan (kesaksian iman);
 4. tahap rasionalisasi.

Tahap paling awal adalah ritual. Asal usul ritual dapat dilacak dari era prasejarah. Ritual berupa gerakan-gerakan fisik juga dapat dilacak pada binatang. Dalam dunia hewan gerakan-gerakan fisik ini secara psikologis (teori psikologi Funktionslust) juga penting untuk membuang energi berlebih dan mengisi waktu. Gerakan yang terus diulang-ulang akan berguna membangkitkan emosi tertentu.

Emosi merupakan unsur penting dalam beragama. Eemosi adalah unsur ikutan (akibat) dari ritual. Emosi juga berguna mempertajam kepekaan organisme, bahkan keterlibatan emosi kerap dipandang sebagai indikator kedalaman penghayatan (bandingkan saat orang trancedalam upacara agama). Intinya, makin dalam seseorang terlibat secara emosional pada agamanya, maka dipandang makin saleh orang itu di mata penganut agama itu. Oleh sebab itu, pertunjukan emosi yang melibatkan orang banyak biasanya lebih disukai karena menunjukkan keberhasilan agama itu men-saleh-kan komunitasnya (bandingkan dengan trance beramai-ramai). Tahap ritual ditambah emosi ini juga diiringi dengan pemujaan atau pensakralan, bisa ke sosok orang yang disucikan (holy person) atau sosok benda tertentu di luar manusia yang disucikan (holy thing). Orang yang disucikan itu bisa saja berupa nabi/rasul dalam kapasitas sebagai manusia sampai ke kapasitas dituhankan. Di sinilah bedanya agama dengan magis. Model pertama yang mengusung holy person adalah agama, sedangkan yang kedua (holy thing) adalah magis.

Tahap kedua adalah emosi. Pada tahap ini agama sudah sampai pada tahap menggugah emosi. Untuk mempercepat proses ini, digunakanlah sistem tanda. Charles Sanders Pierce membedakan sistem tanda ini menjadi: IKON (antara tanda dan yang ditandai memiliki kemiripan, misalnya patung sang nabi; INDEKS (antara tanda dan yang ditandai memiliki kedekatan eksistensi; di sini misalnya kisah-kisah bersejarah yang tertulis dalam kitab suci), atau SIMBOL (antara tanda dan yang ditandai berhubungan secara abstrak, seperti lambang bintang Daud dalam agama Yahudi, bulan sabit dan bintang dalam Islam, salib dalam Kristen).

Tahap ketiga adalah kesaksian iman. Kesaksian iman merupakan petanda bahwa agama masih bersifat sosial. Agama menjadi agen formatif baru bagi kebangkitan manusia (the ascent of man). Untuk itu, diciptakan kultus-kultus yang diyakini oleh kelompok masyarakat yang bersangkutan sebagai bukti kebenaran. Muncullah dewa-dewa baru, imam-imam kudus, santo, tempat suci, dll. yang diyakini telah memberi konfirmasi atas bukti keimanan itu. Melalui kesaksian (seringkali dari mulut ke mulut) para penganut agama saling menebar keyakinan bahwa figur-figur itu merupakan bukti kebenaran keimanan mereka.
Whitehead mengingatkan, pada tahap ini agama bisa mandeg (jika tidak didorong ke tahap berikutnya). Kemandegan yang diperingatkan oleh Whitehead memang beralasan karena potensi konflik justru muncul di sini, yakni tatkala kesaksian iman ini berbuntut saling melecehkan penganut agama lain di luar dirinya (ini terlihat misalnya pada fenomena saling mengkafirkan).

Tahap yang ideal, menurut Whitehead, adalah tahap keempat, yakni rasionalisasi. Pada tahap inilah agama menjadi berdimensi individual. Agama mendapat rasionalisasi secara individual. “Orang yang tak pernah sendiri, tak pernah religius,” ujarnya. Tentu saja, tidak semua orang dapat menjangkau tahap ini. Pada tahap ini agama bersentuhan dengan intuisi religius sedikit orang (insight individual). Agama rasional baru dapat muncul jika konsep-konsep umum dan intuisi-intuisi etis yang relevan, sudah berkembang dalam kesadaran manusia. Pada tahap ini, hasil insight individual itu telah menerobos sekat-sekat sosialnya, sehingga orang punya kecenderungan untuk toleran.

Bebeerapa agama sebenarnya sudah membicarakan tentang tahap rasionalisasi  ini. Dalam Islam, misalnya, dikenal ada yang disebut makrifah (ma’rifat), yang secara harifiah berarti mengetahui/pengetahuan. Cendekiawan Islam membedakan makrifah ini dalam beberapa tingkatan. Ada tingkatan makrifah kaum awam, yang "rasionalitasnya" dibangun dengan cara cukup bersikap patuh-membenarkan (tasdῗq) keterangan Rasul. Tingkat berikutnya adalah makrifah teolog dan filsuf, yang rasionalitasnya didasarkan penelaahan rasio plus pembuktian empirik. Berikutnya makrifah hakikat, yakni pemahaman hakikat dengan ketajaman indera, akal, dan mata hati (lihat Ensiklopedia Islam Indonesia, 1992). Whitehead tentu tidak ingin memasukkan makrifah kaum awam ini ke dalam tahap ideal yang ia maksudkan.

Terkait tentang kecenderungan manusia beragama dewasa ini, Komaruddin Hidayat dan M. Wahyu Nafis (2003), menyebutkan ada empat kemungkinan.

Kecenderungan pertama disebut deism (faith without religion). Kecenderungan ini nyambung dengan ramalan John Naisbitt dan Patricia Aburdene, yang dikenal juga dengan slogan: “Spirituality, yes. Organized religion, no.” Menurut keduanya, formalitas agama terbukti telah mempersempit pesan-pesan universalitas mereka. Agama-agama yang terorganisasi (Yahudi, Nasrani, Islam, dst.) diramalkan tak memiliki masa depan; yang bertahan adalah pesan-pesan universalnya. Tidak heran kalau pada masa ini ada orang-orang yang menyebut dirinya sebagai spirituality freelancer.

Kencenderungan kedua adalah munculnya gerakan falsafah kalam (theo-philosophical movement). Kecenderngan ini bertolak dari temuan-temuan ilmiah (khususnya ilmu eksakta). Agama merespons temuan-temuan ini dan menyesuaikan kajian-kajiannya dengan merangkul ilmu pengetahuan. Di sini agama tetap dijadikan sebagai orientasi perkembangan ilmu pengetahuan.

Kecenderungan ketiga adalah apa yang disebut dengan istilah skriptualis-ideologis. Di sini agama dimaknai sebagai kembali kepada teks-teks kitab suci (atau disucikan). Kecenderungan ini kerap memposisikan diri sebagai pemurnian agama. Memang, manusia dalam tingkat kognisi tertentu dalam beragama, kerap berada dan/atau harus melalui tahapan ini. Namun, jika dibiarkan terus-menerus, kecenderungan ini akan membuat agama dieksklusifkan dengan menyatakan kebenaran hanya pada kelompoknya sendiri, bahkan cenderung memusuhi agama lain. Di Indonesia pandangan demikian cenderung disalahtafsirkan sebagai gerakan “kebangkitan kembali agama”.

Kecenderungan keempat adalah kebangkitan etno-religius. Kecenderungan ini dipicu oleh perlawanan secara emosional atas hegemoni Barat, baik hegemoni politik, ekonomi, maupun sosial-budaya. Apa yang dikenal dewasa ini sebagai gerakan radikalisme Kristen atau Islam, adalah bukti kecenderungan tadi. Demikian juga dengan gerakan nasionalisme Hindu di India. Kecenderungan inipun bisa dipicu oleh keterkepungan secara geopolitik, seperti ekstremisme perjuangan rakyat Palestina dan gerakan zionisme Israel.

Lalu, persoalannya sekarang adalah apakah dengan segala kompleksitas keberagamaan seperti diuraikan di atas, agama masih mungkin untuk diposisikan sebagai norma sosial? Pilihan-pilihan itu antara lain: (1) menjadikan agama sebagai hukum negara; (2) menjadikan agama sebagai salah satu sumber material dari hukum negara; (3) memisahkan agama dengan negara. Secara resmi, pilihan kita di Indonesia tidak berada pada opsi nomor satu dan tiga, sekalipun ada kecenderungan di sejumlah daerah diberlakukan perda-perda yang berkonotasi syariah.

Di Perancis dikenal pilihan nomor tiga, yang lazim disebut sebagai konsep laïcité (baca: la-isi’te). Konsep ini dicantumkan dalam Pasal 1 Konstitusi Perancis, yang menegaskan bahwa pada prinsipnya Perancis adalah republik yang sekuler dan Pemerintah tidak mencampuri urusan agama. Sejak abad ke-20, Pemerintah Perancis menerapkan perlakuan yang sama bagi semua agama (tak ada mayoritas-minoritas). Tahun 2004, melalui UU (Loi #2004-228), Perancis mempertegas prinsip laïcité ini dengan melarang penggunaan simbol agama di sekolah-sekolah negeri (primary and secondary schools).

Di Amerika Serikat dikenal konsep berbeda, yang biasanya disebut civil religion. Konsep “American Civil Religion” kerap dikaitkan dengan sosiolog Robert Bellah (1967) dalam artikelnya Civil Religion in America. Amerika menganut “a common civil religion” dengan membolehkan kepercayaan, nilai-nilai, hari raya,dan  ritual tertentu, yang sejalan dengan kebebasan rakyatnya untuk memilih agama. Tidak ada agama yang dibiarkan menjadi agama negara. Diskursus dalam politik dan kenegaraan senantiasa dijauhkan dari terminologi agama. Namun, penelitian menunjukkan bahwa orientasi agama sering juga dipakai dalam rangka mendulang suara dalam pemilu.

Patut dicatat bahwa sebelum Bellah menyebut common civil religion, istilah serupa sebenarnya pernah disampaikan, seperti common faith(John Dewey), common religion (Robin Williams), religion in general (Martin Marty), religion of the Republic (Sidney Mead).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar